DPRA: "Antara Realita dan Idealita"
DPRA: "Antara Realita dan Idealita"
Oleh: Abdul Qadir Jailani*
Kehadiran partai politik lokal yang ikut bertarung dan sekaligus keluar sebagai pemenang dalam pemilu legislatif tahun 2009 merupakan tonggak baru sejarah perpolitikan di Aceh. Berjuta harapan dan impian rakyat Aceh disematkan kepada wakil rakyat terpilih sebagai penyambung lidah untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat dan merumuskannya ke dalam program-program pembangunan daerah yang pro rakyat.
Terpilihnya wakil rakyat tersebut merupakan tahap awal yang ikut memberikan andil untuk menentukan arah pembangunan Aceh hingga lima tahun mendatang. Melalui fungsi anggaran yang dimilikinya, para legislator dapat mengalokasikan sejumlah anggaran untuk mengeliminasi berbagai problema pembangunan seperti pengangguran, kemiskinan, keterbelakangan, krisis listrik, dan lain sebagainya, sehingga masyarakat lapisan bawah (grassroots), pinggiran (peripheris), dan pedesaan (rural communities) sebagai kelompok sasaran pembangunan dapat diberdayakan dalam kemandirian, keswadayaan, partisipasi, dan demokratisasi.
Melalui fungsi legislasinya, para wakil rakyat juga dapat membuat Qanun Aceh yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum untuk menjalankan sejumlah agenda pembangunan yang tentu saja harus dituangkan terlebih dahulu ke dalam Program Legislasi Aceh (prolega) sebagai dokumen penting yang memuat tentang qanun-qanun prioritas yang akan dibuat hingga lima tahun mendatang, baik qanun organik maupun qanun non-organik dengan berdasarkan pada UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Qanun Aceh No. 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun, serta peraturan perundang-undangan lainnya yang relevan sebagai acuan yang memuat dasar hukum dan sistematika pembuatan produk perundang-undangan tersebut.
Mencermati realita yang terjadi saat ini, kita patut memberikan apresiasi kepada anggota parlemen Aceh karena dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA) tahun 2010 setidaknya terdapat sedikit substansi yang cukup kontras dengan APBA tahun 2009 lalu sebagaimana yang sempat dirilis media akhir-akhir ini. Perbedaan tersebut terletak pada bertambahnya Anggaran Belanja Pembangunan sebesar Rp. 1 Trilyun dan adanya Dana Aspirasi sebesar Rp. 5 Milyar per anggota. Dana Aspirasi tersebut dipergunakan untuk menyerap aspirasi konstituen di Daerah Pemilihan (dapil) masing-masing para wakil rakyat tersebut.
Hal ini tentu saja dapat membantu meningkatkan percepatan perkembangan pembangunan di dapil masing-masing, mengingat seringkali terjadi ketimpangan anggaran pembangunan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, juga dapat berfungsi sebagai manuver politik untuk menarik simpati dan empati konstituen karena hal tersebut terkesan merakyat, sehinga yang bersangkutan akan tetap dihati rakyat pada pemilu legislatif periode mendatang.
Namun demikian, disisi lain kita patut mengurut dada karena efektivitas penyusunan RAPBA tahun 2010 tidak dapat berjalan maksimal. Hal ini terlihat dari molornya penyusunan RAPBA sampai pada bulan maret 2010. Konsekuensi dari hal tersebut dapat memberikan implikasi yang beragam pula.
Salah satu implikasi utama yang dapat memberikan dampak negatif terhadap RAPBA itu sendiri adalah penalti dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Menteri Keuangan (Menkeu) berupa pemangkasan anggaran dana perimbangan, yaitu Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) sebagai sanksi apablila RAPBA tersebut disampaikan dengan tidak tepat waktu.
Implikasi lainnya adalah berpotensi menghambat daya serap anggaran pembangunan. Untuk penyusunan RAPBA saja menghabiskan waktu selama lebih kurang tiga bulan. Apakah dengan sisa waktu selama sembilan bulan program-program pembangunan yang telah dianggarkan dapat direalisasikan ke dalam tindakan nyata? Tentu saja dibenak kita akan timbul rasa pesimistis, mengingat pengalaman tahun sebelumnya daya serap anggaran pembangunan dinilai lemah oleh beberapa pakar.
Poin ketiga yang tak kalah pentingnya yang dapat menjadi implikasi dari keterlambatan penyusunan RAPBA tersebut adalah fungsi utama dari Lembaga Legislatif, yaitu sebagai lembaga yang menelurkan produk perundang-undangan berupa Qanun Aceh. Hal ini memang terkesan aneh dan kontradiktif, namun jika dikaji lebih lanjut, maka hal tersebut adalah sesuatu yang logis dan esensial.
Pasca pelantikan sebagai wakil rakyat, anggota parlemen Aceh harus disibukkan dengan perseteruan pemilihan kursi pimpinan untuk posisi wakil ketua III yang hingga saat ini masih kosong. Hal ini terjadi karena adanya dikotomi penafsiran tentang dasar hukum yang mengatur posisi wakil rakyat tersebut, yaitu antara UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagai lex specialis dengan UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagai lex generalis. Akhirnya, polemik tersebut kandas di Kementrian Dalam Negeri. Menurut Mendagri, Gamawan Fauzi, masalah tersebut harus didasarkan pada UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD karena di dalam UUPA tidak diatur secara eksplisit akan hal tersebut.
Memasuki tahun 2010, penyusunan RAPBA untuk dijadikan sebuah Qanun memakan waktu selama lebih kurang tiga bulan dan masa kerja anggota dewan telah berjalan selama enam bulan, namun hingga saat ini belum ada satu pun Qanun Aceh yang disosialisasikan kepada publik sebagai kinerja dari wakil rakyat tersebut selain penyusunan RAPBA.
Jika permasalahan ini terulang terus dari tahun ketahun, maka qanun-qanun yang dihasilkan anggota dewan tersebut selama lima tahun mendatang akan dapat dihitung dengan jari. Sementara itu, qanun organik yang merupakan derivasi dari UUPA masih tersisa dan menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Belum lagi qanun-qanun organik dari UU lainnya, serta qanun-qanun non-organik yang krusial dan mendesak.
Hal tersebut tentu saja mematahkan slogan "Meuseu koen geutanyoe soe loem, meuse koen jinoe pajan loem" menjadi bias, karena kinerja anggota dewan sekarang dengan anggota dewan periode sebelumnya tidak jauh berbeda . Oleh karena itu, harapan kita semua semoga anggota parlemen Aceh dapat memperbaiki kinerjanya dengan lebih baik lagi, sehingga dapat tercapai efektivitas dan efisiensi kerja. Jadi, memiliki rasa optimistis saja tidak cukup, melainkan harus dimanifestasikan ke dalam aksi nyata yang riil dan konkret.
* Penulis adalah Mahasiswa FISIP Universitas Malikussaleh Jurusan Ilmu Administrasi Negara
Label: Opini