Memahami Persoalan Demokrasi Lokal pada Pemilukada Aceh 2012
Oleh: Abdul Qadir Jailani*
Mengamati dinamika politik sepanjang tahapan Pemilukada Aceh 2011-2012 yang telah ditetapkan KIP Aceh merupakan hal yang sangat menarik untuk diulas, terlebih jika dilihat dari sisi untuk membangun demokrasi dan meningkatkan partisipasi masyarakat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi yang mampu menjelma sebagai “Suara Tuhan”.
Demokrasi lokal yang berkembang di Aceh memiliki keunikan tersendiri dengan daerah lain di Indonesia. Perbedaan tersebut didasari karena adanya regulasi khusus yang mengatur Aceh secara formal. Akan tetapi, meskipun sudah menjadi pengetahuan umum jika demokrasi diartikan sebagai sebuah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat; namun dalam menciptakan pemerintahan yang demokratis tersebut, rakyat tetap mendapat hak yang sama, yaitu diberikan hak politik untuk merekrut pejabat publik secara berkala setiap lima tahun sekali melalui sebuah agenda yang populer dengan sebutan pesta demokrasi.
Perwujudan pesta demokrasi yang bebas dari kekerasan, teror, intimidasi, ancaman dan tawar-menawar politik menjadi “mimpi terliar” dalam menjaga nilai-nilai demokrasi yang membatasi kekerasan sampai minimum. Memanasnya tensi keamanan saat pemilukada ikut menjadi preseden buruk terhadap kewajaran adanya diversity antar golongan yang harus disikapi secara damai demi menjamin tegaknya keadilan.
Proses pergantian pimpinan daerah secara periodik dalam Pemilukada Aceh 2012 menjadi tantangan terberat setelah terjadi pertikaian antar elit politik Aceh yang diikuti adanya penembakan secara brutal oleh orang yang tak dikenal terhadap warga sipil. Rangkaian peristiwa berdarah ikut menyumbangkan kegalauan hingga ke tingkat nasional, beberapa pejabat pusat “dipaksa” untuk ikut andil dalam mencari solusi alternatif agar eskalasi kekerasan menurun dan perseteruan antar elit politik Aceh yang merajuk dan bersikeras tentang keabsahan penyelenggaraan pemilukada dapat diselesaikan.
Kausalitas terjadinya polemik elit didasari karena adanya disparitas dalam memahami landasan yuridis penetapan tahapan Pemilukada Aceh oleh KIP dan pembahasan materi muatan tentang calon perseorangan serta penyelesaian sengketa pemilukada di dalam qanun yang berlangsung alot. Setelah dilakukan loby yang begitu panjang, Putusan MK yang menolak gugatan Mendagri untuk Pemilukada Aceh dianggap sudah menyelesaikan persoalan meskipun tidak menyentuh substansi masalah, namun berimplikasi luas terhadap tahapan pemilukada yang sedang berjalan dengan memerintahkan pembukaan pendaftaran calon kembali. Terkesan seperti sebuah manuver politik yang memaksakan kehendak dengan mencari celah hukum untuk menjegal lawan politik.
Sederetan kasus kekerasan yang belum terungkap sepanjang tahapan Pemilukada Aceh 2012 masih menjadi misteri bagi pihak keamanan dibalik komitmen para kandidat untuk menyukseskan pemilukada secara damai (apakah kekerasan mempunyai korelasi dengan pemilukada atau hanya sebatas kriminal murni), namun peristiwa pemberondongan rumah calon kepala daerah dan kekerasan yang dialami tim sukses pasangan calon beberapa waktu lalu memungkinkan dijadikan asumsi bahwa kekerasan tersebut erat kaitannya dengan pemilukada.
Realita yang kontras dengan komitmen tersebut membuat masyarakat berada pada posisi yang dilematis. Bahkan berkembang rumor di tengah masyarakat jika calon tertentu tidak dimenangkan, maka Aceh dipastikan akan kembali berdarah. Ironis memang, boro-boro berharap mendapat “kesejahteraan musiman” untuk meningkatkan kesehatan ekonomi seperti yang lumrah terjadi, yang ada malah semacam diberi sistem peringatan dini, “Awas! Salah dukung dapat menyebabkan kerugian materil, bahkan kematian!”. Hal tersebut tentu saja dapat membuat masyarakat antipati untuk menjadi konstituen, karena budaya politik yang dikembangkan hanya monoton pada stadium untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan.
Minusnya etika politik para kandidat dengan tim suksesnya untuk bertarung secara fair dalam setiap ajang pemilihan membuat demokrasi berada pada tataran deformasi. Lukisan masa lalu warisan politisi terdahulu yang sering mengumbar janji tanpa realisasi ikut mewarnai tingkat kepercayaan publik yang makin merosot dan berdampak pada tingkat partisipasi publik yang kian menurun sejalan dengan banyaknya pemilih yang apatis dengan tidak berkontribusi untuk memberikan hak pilih aktifnya. Berdasarkan data yang dirilis KPU Pusat, angka partisipasi masyarakat dalam pemilu mengalami penurunan yang signifikan. Pada pemilu tahun 1999 mencapai 90%, pemilu 2004 turun hingga 84%, dan pada pemilu 2009 hanya 71% (www.kpu.go.id). Khusus di Aceh, pada pemilu tahun 2004 mencapai 94%, pilkada 2006 84%, dan pilpres 2009 hanya 77% (atjehpost.com).
Melihat perkembangan demokrasi yang sedemikian rupa, maka dapat dipahami bahwa berdasarkan atas dasar prinsip ideologi, demokrasi lokal yang berkembang di Aceh menyerupai bentuk Demokrasi Proletar yang berhaluan marxisme-komunisme, yaitu sebuah pencapaian tujuan yang dilakukan dengan cara paksa atau kekerasan. Menurut Kranenburg, demokrasi proletar lebih mendewa-dewakan pemimpin. Sementara menurut Miriam Budiardjo, komunis tidak hanya merupakan sistem politik, tetapi juga mencerminkan gaya hidup yang berdasarkan nilai-nilai tertentu. Negara (pemerintah) merupakan alat untuk mencapai komunisme. Kekerasan dipandang sebagai alat yang sah (Budiyanto, 2000).
Berdasarkan uraian tersebut, setidaknya terdapat beberapa hal yang menjadi persoalan dalam membangun demokrasi lokal di Aceh dengan partisipasi masyarakat di dalamnya, diantaranya adalah etika dan budaya politik peserta pemilukada, penggunaan instrumen kekerasan dalam mecapai tujuan, serta tingkat patisipasi publik yang semakin menurun. Fenomena klasik ini menjadi syndrome yang selalu menggerogoti kehidupan berdemokrasi.
Mengatasi permasalahan tersebut, merupakan langkah elegan yang harus diperhatikan dalam membangun demokrasi adalah menjaga nilai-nilai demokrasi itu sendiri agar berjalan sesuai dengan koridornya. Selanjutnya kontestan mempunyai kesadaran dan kedewasaan berpolitik yang matang sebelum terjun ke panggung untuk menyalurkan hak pilih pasifnya.
Setiap kandidat pasti memiliki rasa optimistis untuk menang dalam pemilukada, karena hal itulah yang memotivasinya untuk maju sebagai kontestan. Akan tetapi, hadirnya rival dalam perhelatan tersebut memberikan konsekwensi adanya pemenang dan yang kalah. Untuk itu, diperlukan keikhlasan hati para kandidat dalam menerima kekalahan secara lapang dada.
Menciptakan figur calon pemimpin yang mau dan mampu menerima kekalahan secara sukarela memang bukan hal yang mudah. Butuh keselarasan antara ilmu dan keyakinan untuk memahami problema tersebut. Oleh karena itu, kombinasi antara pendidikan umum dan pendidikan agama dirasa sangat mendesak diberlakukan sebagai pra syarat untuk maju sebagai kandidat, minimal berpendidikan tinggi untuk umum dan mampu menjadi khatib di mesjid untuk pendidikan agama. Gagasan tersebut diharapkan mampu mengeliminasi etika dan budaya politik yang amoral, membentuk kepribadian calon pemimpin yang bertanggungjawab antara ucapan dan tindakan, sehingga tidak melahirkan pemimpin yang hipokrit. Selain itu, juga mampu untuk menyahuti tantangan global dan pendangkalan akidah. Dengan kata lain, ketika seseorang menyatakan diri telah siap menjadi pemimpin Aceh, maka harus siap pula menjadi pemimpin umat.
Menyikapi kekerasan sebagai instrumen untuk mencapai kekuasaan, para kandidat dan tim suksesnya hingga ke akar rumput diharapkan bisa membaca, memahami dan mematuhi setiap peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam proses pergantian pimpinan daerah tersebut. Paradigma berpikir harus diubah dan tertanam di benak bahwa penggunaan kekerasan bukan hanya dapat membunuh jiwa manusia, akan tetapi juga dapat “membunuh” reputasi, menaburkan benih-benih kebencian antar sesama yang pada akhirnya gagal mendapat simpati dan legitiminasi rakyat. Pihak keamanan juga harus bekerja maksimal melakukan langkah-langkah persuasif untuk mengatasi kekerasan baik secara preventif maupun represif, sehingga kekerasan bisa diminimalisir sampai batas minimum.
Menanggapi persentase pemilih yang terus menurun sepanjang pemilihan memang bukan hal yang mudah untuk dicarikan solusinya, karena tingkat partisipasi pemilih merupakan variabel dependen yang berkorelasi langsung dengan tingkat kesejahteraan masyarakat melalui kepercayaan yang telah diamanahkan pada pemimpin untuk mengelola daerah. Stigma yang berkembang di masyarakat sudah terlanjur menjadi bentuk statis bahwa siapapun yang telah terpilih menjadi pemimpin kelak, maka akan dengan mudah mengidap gejala amnesia, terlebih jika sudah terbelit dengan masalah hukum.
Langkah yang masih memungkinkan dilakukan untuk merubah mindset masyarakat tersebut adalah dengan membangun komunikasi politik yang lebih intens, kemudian merumuskan berbagai kepentingan masyarakat menjadi sebuah kebijakan pemerintah yang mampu mendongkrak tingkat kesejahteraan hidup masyarakat banyak. Peran serta berbagai pihak dalam menyosialisasikan pentingnya memilih bagi masyarakat juga harus terus digalakkan. Pendidikan pemilih juga merupakan elemen yang sangat krusial agar masyarakat tidak terjebak pada doktrin yang sesat lagi menyesatkan. Semoga saja dengan langkah tersebut dapat menimbulkan kesadaran dalam diri masyarakat, bahwa baik buruknya pemerintahan yang akan datang merupakan hasil dari partisipasinya dalam menentukan pilihan, termasuk dengan sikap apatis yang golput sekalipun. Oleh karena itu, masyarakat harus memilih calon pemimpin yang terbaik sesuai hati nuraninya, namun jika masih ragu dalam menentukan pilihan, maka mintalah petunjuk-Nya melalui shalat istikharah. Salam.
* Penulis adalah Alumni FISIP Unimal
Data Terkait:
Data Terkait:
- KPU SUSUN PEDOMAN UMUM PENINGKATAN PARTISIPASI MASYARAKAT (http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=6821&Itemid=1)
- Seringan Kepul Asap kopi (http://atjehpost.com/read/2012/01/04/771/3/3/Seringan-Kepul-Asap-Kopi )
Label: Opini
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda